Penulis: Al Ustadz Qomar Suaidi, Lc
W
Dahulu Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah mewasiatkan umatnya agar berpegang dengan kuat pada ajaran (Sunnah) beliau. Namun kini umatnya lebih banyak yang meninggalkan ajaran nabinya, meski di sana menanti adzab yang keras dari Allah عزّوجل.
Sunnah Nabi, sebuah istilah yang kerap kita mendengarnya. Bahkan sering pula mengucapkan karena Sunnah (petunjuk/ajaran Nabi) adalah sesuatu yang menjadi landasan hidup kita sebagai penganut ajaran Islam. Kita semua sepakat untuk menjunjung tinggi dan mengagungkan Sunnah dan bersepakat pula bahwa yang merendahkannya berarti menghinakan Islam dan ajaran Nabi.
Namun jika kita menengok realita yang ada, apa yang dilakukan kaum muslimin dalam mengagungkan Sunnah Nabi nampaknya sudah jauh dari yang semestinya. Bahkan keadaannya sangat parah. Tidak tanggung-tanggung, di antara mereka ada yang menolak dengan terus-terang Sunnah yang tidak mutawatir1 dan mengatakan hadits ahad bukan hujjah (dalil) dalam masalah akidah.
Ada pula yang menolak dan mengingkari Sunnah Nabi secara total dengan berkedok mengikuti Al Qur’an saja. Padahal Al Qur’an tidak mungkin dipisahkan dari Sunnah. Al Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa saja yang datang dari Nabi yaitu Sunnahnya.
Bentuk yang lebih parah dari ‘sekedar’ menolak adalah mengolok-olok Sunnah dan orang-orang yang mencoba berjalan di atasnya. Ada pula yang dengan terang-terangan menolak hadits Nabi karena dinilai tidak sesuai dengan akal.
Sangat disayangkan sikap-sikap seperti ini justru sering dimiliki oleh orang-orang yang terjun ke kancah dakwah. Padahal lisan mereka juga mengatakan bahwa kita wajib mengagungkan Sunnah.
Mengagungkan Sunnah adalah perkara yang besar dan bukan sekedar isapan jempol. Ia butuh bukti nyata dan praktek dalam kehidupan. Namun kini keadaannya justru sebaliknya, banyak orang menolaknya.
Nabi telah mengisyaratkan akan datangnya keadaan ini: “Sungguh-sungguh aku akan dapati salah seorang dari kalian bertelekan (tiduran? leyeh-leyeh?) di atas dipannya, (lalu) datang kepadanya sebuah perintah dari perintahku atau larangan dari laranganku lalu dia mangatakan: ‘Saya tidak tahu itu, apa yang kami dapatkan dalam kitab Allah عزّوجل yang kami ikuti.’”(Shahih HR Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dari Abu Rafi’, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, 7172].
Makna Sunnah Nabi
Yang dimaksud dengan Sunnah Nabi adalah petunjuk dan jalan yang ditempuh. Di dalamnya mencakup perkara-perkara yang hukumnya oleh Rasulullah wajib maupun sunnah, yang berkaitan dengan akidah maupun ibadah dan yang berkaitan dengan muamalah maupun akhlak.
Para ulama Salaf mengatakan bahwa Sunnah artinya mengamalkan Al Qur’an dan hadits serta mengikuti para pendahulu yang shalih serta ber-ittiba’ (berteladan) dengan jejak mereka. (Al Hujjah fii Bayanil Mahajjah, 2/428, Ta’dhimus Sunnah, 18).
Ibnu Rajab menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan As Sunnah pada asalnya adalah jalan yang ditempuh dan itu meliputi sikap berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh Nabi dan para khalifahnya baik keyakinan, amalan, maupun ucapan. Dan inilah makna As Sunnah secara sempurna. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hadits no. 28).
Itulah yang kami maksud dalam pembahasan ini sehingga kami tidak terpaku pada istilah Sunnah menurut ahli fikih atau sunnah menurut ahli ushul fikih atau Sunnah dalam arti akidah, tetapi mencakup itu semua.
Sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi: “Wajib atas kalian berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah para Al Khulafa Ar Rasyidin…”(Shahih, HR Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, 2549].
Perintah Memuliakan Sunnah
Allah عزّوجل berfirman: “Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka ambillah sedang apa yang beliau larang darinya maka berhentilah.” (Al Hasyr: 7) .
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di mengatakan: “Perintah ini mencakup prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya baik lahir maupun batin dan bahwa yang dibawa oleh Rasul maka setiap hamba harus menerimanya dan tidak halal menyelisihinya. Apa saja yang disebut oleh Rasul seperti apa yang disebut oleh Allah عزّوجل, tidak ada alasan bagi seorangpun untuk meninggalkannya dan tidak boleh mendahulukan ucapan siapapun atas ucapan Rasul.” (Taisir Al Karimirrahman, 851).
“Barangsiapa yang mentaati Rasul berarti ia mentaati Allah عزّوجل.” (An Nisa’: 80).
Maksudnya, setiap orang yang taat kepada Rasul dalam perintah dan larangan berarti ia taat kepada Allah عزّوجل karena Nabi tidak memerintah atau melarang kecuali dengan perintah dari Allah عزّوجل. Ini berarti pula terlindunginya Nabi dari kesalahan karena Allah عزّوجل memerintahkan kita untuk taat kepadanya secara mutlak. Kalau seandainya beliau tidak ma’shum (terjaga dari salah) pada apa yang beliau sampaikan dari Allah عزّوجل, tentu Allah عزّوجل tidak akan memerintahkan taat kepadanya secara mutlak dan tidak memujinya. (Taisir Al Karimirrahman, 189 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/541)
“Dan tidaklah ada pilihan bagi seorang mukmin atau mukminah jika Allah عزّوجل dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah perkara pada urusan mereka.” (Al Ahzab: 36).
“Dan tidaklah ada pilihan bagi seorang mukmin atau mukminah jika Allah عزّوجل dan Rasul-Nya telah memutuskan sebuah perkara pada urusan mereka.” (Al Ahzab: 36).
Ibnu Katsir mengatakan: “Ayat ini umum pada seluruh perkara yaitu jika Allah عزّوجل dan Rasul-Nya menetapkan hukum sebuah perkara maka tidak boleh bagi seorangpun untuk menyelisihinya. Tidak ada peluang pilihan, ide atau pendapat bagi siapapun di sini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/498).
Ketiga ayat ini menunjukkan secara jelas bagaimana semestinya kita menempatkan Sunnah Nabi, yakni wajib mengambilnya dan merupakan keharusan yang tidak ada tawar-menawar lagi. Kemudian menjadikan Sunnah tersebut sebagai pedoman dalam melangkah melakukan ketaatan kepada Allah عزّوجل. Hal itu karena Allah عزّوجل jadikan Nabi-Nya sebagai penjelas Al Qur’an sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44).
Selanjutnya kita lihat bagaimana hadits-hadits yang memerintahkan untuk mengikuti Sunnah, di antaranya:
Dari Al Irbadh bin Sariyah ia berkata: “Rasulullah memberikan sebuah nasehat kepada kami dengan nasehat yang sangat mengena, hati menjadi gemetar dan matapun menderaikan air mata karenanya, maka kami katakan:’ Wahai Rasullullah seolah-olah ini nasehat perpisahan maka berikan wasiat kepada kami’, lalu beliau katakan: ‘Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah عزّوجل, mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku ia akan melihat perbedaan yang banyak, maka wajib atas kalian bepegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Al Khulafa Ar Rasyidin, gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian dan jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.” (Shahih, HR Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, 2549).
Demikian Nabi mewasiatkan kepada para sahabat beberapa wasiat penting di antaranya perintah untuk berpegang teguh dengan Sunnahnya dan Sunnah para Khulafa Ar Rasyidin. Bahkan beliau menyuruh untuk menggigitnya dengan gigi kita yang paling kuat. Di masa sahabat saja Rasulullah telah berwasiat demikian, lebih-lebih di zaman sepeninggal beliau di mana kondisi masyarakat dari sisi keagamaan semakin buruk dengan munculnya berbagai perselisihan dan bid’ah pada perkara-perkara yang prinsipil.
Datang beberapa orang kepada istri Nabi menanyakan amalan yang dilakukan oleh Nabi di saat sendirian. Setelah mendengar jawabannya merekapun menganggap diri mereka sangat jauh dari apa yang dilakukan oleh Nabi sehingga masing-masing menetapkan azamnya.
Salah satu dari mereka berkata: “Saya tidak akan menikahi wanita.” Yang lain mengatakan: “Saya tidak akan makan daging,” dan yang lain mengatakan: “Saya tidak akan tidur di kasur.” Sampailah berita itu kepada Nabi maka beliaupun berpidato dengan memuji Allah عزّوجل dan menyanjung-Nya lantas berkata: “Mengapa ada orang–orang yang mengatakan demikian dan demikian, (padahal) saya bangun shalat malam dan saya juga tidur, saya puasa dan saya terkadang tidak berpuasa, dan saya juga menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak suka dengan Sunnahku, dia bukan dari golonganku.” (Shahih, HR Muslim, 9/179).
Coba kita amati kisah ini. Beberapa sahabat datang dengan maksud baik, lalu mereka berazam (berkeinginan kuat) untuk meninggalkan beberapa kenikmatan dengan tujuan memperbanyak ibadah sehingga bisa mendekati amalan Nabi. Namun pada niatan itu mengakibatkan ditinggalkannya beberapa Sunnah, petunjuk dan jalan Nabi yaitu menikah, memberikan hak jasmani dengan tidak puasa setiap hari dan tidak bangun sepanjang malam walaupun untuk ibadah.
Maka Nabi menganggap hal itu tidak baik sehingga mengatakan: “Barangsiapa yng benci terhadap Sunnahku maka bukan dari golonganku.”
Sekedar niat baik saja tidak cukup bila tanpa disertai cara yang baik pula. Kalau keadaan mereka saja seperti ini lalu bagaimana dengan yang sengaja meninggalkan Sunnah Nabi dengan niat jelek? Lalu bagaimana lagi yang menghina Sunnah Nabi atau bahkan mengingkarinya?!
Demikian ayat dan hadits mendudukkan Sunnah Nabi yaitu pada tinggkat yang sangat tinggi. Oleh karenanya kita dapati para sahabat Nabi benar-benar menghargai dan menjadikannya sebagai panutan hidup bahkan sangat takut jikalau mereka menyelisihi Sunnah sehingga menyebabkan sesatnya mereka dari jalan yang lurus.
Kita dapati Abu Bakar Ash Shiddiq رضي الله عنه mengatakan: “Saya tidak meninggalkan sesuatu yang Rasulullah melakukannya kecuali aku pasti melakukannya juga dan saya takut jika saya tinggalkan sesuatu darinya lalu saya sesat.”
Wahai saudaraku…orang yang paling jujur (Abu Bakar) khawatir terhadap dirinya untuk tersesat jika menyelisihi sesuatu dari jalan Nabi. Maka bagaimana jadinya dengan sebuah jaman yang penduduknya mengolok-olok Nabi mereka dan perintah-perintahnya bahkan berbangga dengan menyelisihi dan mengolok-oloknya.
Kami memohon kepada Allah عزّوجل perlindungan dari perbuatan salah dan memohon keselamatan dari amal yang jelek. Demikian dikatakan oleh Ibnu Baththah, seorang ulama akidah yang hidup pada abad keempat hijriyah dalam kitab Al Ibanah,1/246, dan Ta’dhimus Sunnah, 24. Lalu bagaimana jika beliau hidup di jaman kita? Apa yang kira-kira akan beliau katakan?
Seorang tabi’in bernama Abu Qilabah رحمه الله mengatakan: “Jika kamu ajak bicara seseorang dengan Sunnah lalu dia mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari ini dan datangkan Kitabullah.’ Maka ketahuilah bahwa dia sesat.”(Tabaqat Ibni Sa’ad, 7/184, Ta’dhimus Sunnah, 25).
Demikian pula yang enggan menerima Sunnah Nabi karena lebih cenderung kepada pendapat seseorang maka dia berada dalam bahaya besar. Seperti dikatakan Abdullah bin Abas ketika datang kepadanya seseorang yang yang seolah-olah mengadu Sunnah Nabi dengan pendapat Abu Bakar dan Umar maka Abdulllah bin Abbas mengatakan: “Hampir-hampir turun kepada kalian bebatuan dari langit, aku katakan Rasullullah berkata demikian dan kalian katakan berkata Abu Bakar dan Umar demikian?!” (Shahih, riwayat Al Bukhari).
Maka sangat mengherankan kalau seseorang tahu Sunnah lalu meninggalkannya dan mengambil pendapat yang lain sebagaimana dialami oleh Imam Ahmad: “Saya merasa heran dari sebuah kaum yang tahu sanad hadits dan keshahihannya lalu pergi kepada pendapat Sufyan (maksudnya Sufyan Ats Tsauri-red) padahal Allah عزّوجل berfirman: Maka hendaklah berhati-hati orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa adzab yang pedih (An-Nur: 63). Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah adalah syirik.” (Fathul Majid, 466).
Demikian pula suatu saat Imam Syafi’i ditanya tentang sebuah masalah maka beliau mengatakan bahwa dalam masalah ini diriwayatkan demikian dan demikian dari Nabi. Maka si penanya mengatakan: “Wahai Imam Syafi’i, apakah engkau berpendapat sesuai dengan hadits itu?” Maka beliau langsung gemetar lalu mengatakan: “Wahai, bumi mana yang akan membawaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan hadits dari Nabi kemudian aku tidak memakainya?! Tentu, hadits itu di atas pendengaran dan penglihatanku.” (Shifatus Shafwah, 2/256, Ta’dhimus Sunnah, 28).
Dalam kesempatan lain beliau ditanya dengan pertanyaan yang mirip lalu beliau gemetar dan menjawab: “Apakah engkau melihat aku seorang Nasrani? Apakah kau melihat aku keluar dari gereja? Ataukah engkau melihat aku memakai ikat di tengah badanku (yang biasa orang Nasrani memakainya-red)? Saya meriwayatkan hadits dari Nabi lalu saya tidak mengambilnya sebagai pendapat saya?!” (Miftahul Jannah, 6).
Demikian tinggi nilai Sunnah Nabi dalam dada mereka sehingga rasanya sangat mustahil mereka meninggalkannya. Bahkan tidak terbayang ada seorang muslim yang berani meninggalkan Sunnah Nabi yang telah diketahui.
Pahala bagi Orang yang Berpegang dengan Sunnah Nabi
Karena pentingnya mengagungkan Sunnah Nabi sekaligus beratnya tantangan bagi yang mengagungkannya maka Allah عزّوجل sediakan pahala yang besar bagi mereka yang berpegang teguh dengannya dan menjunjungnya tinggi-tinggi. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran, kesabaran di hari itu seperti menggenggam bara api, bagi yang beramal (dengan Sunnah Nabi) pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh.” Seseorang bertanya: “Limapuluh dari mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Pahala limapuluh dari kalian.” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi lihat Silsilah Ash Shahihah no. 494).
Karena pentingnya mengagungkan Sunnah Nabi sekaligus beratnya tantangan bagi yang mengagungkannya maka Allah عزّوجل sediakan pahala yang besar bagi mereka yang berpegang teguh dengannya dan menjunjungnya tinggi-tinggi. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran, kesabaran di hari itu seperti menggenggam bara api, bagi yang beramal (dengan Sunnah Nabi) pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh.” Seseorang bertanya: “Limapuluh dari mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Pahala limapuluh dari kalian.” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi lihat Silsilah Ash Shahihah no. 494).
Dalam hadits yang lain Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sesungguhnya Islam berawal dengan keasingan dan akan kembali kepada keasingan sebagaimana awalnya maka maka bergembiralah bagi orang-orang yang asing.” Rasulullah ditanya: “Siapa mereka wahai Rasulullah?” Jawab beliau: “Yaitu yang melakukan perbaikan ketika manusia rusak.” (Shahih HR Abu Amr Ad Dani dari sahabat Ibnu Mas’ud, lihat Silsilah Ash Shahihah no. 1273).
Demikian pula Allah عزّوجل menjamin hidayah bagi orang-orang yang mengikuti Nabi dalam firman-Nya: “Dan jika kalian mentaatinya niscaya kalian akan mendapatkan hidayah.” (An-Nur: 54).
Hidayah untuk menempuh jalan yang lurus baik dengan ucapan atau perbuatan, di mana tidak ada jalan menuju kepada hidayah kecuali dengan taat kepada Rasulullah. Adapun tanpa itu maka tidak mungkin, bahkan mustahil (Taisir Al Karimirrahman, 572-573).
Semakna dengan ayat itu hadits Nabi yang berbunyi:“Sesungguhnya setiap amalan itu ada masa giatnya dan setiap giat itu ada masa jenuhnya maka barangsiapa yang jenuhnya itu kepada Sunnahku berarti ia mendapatkan petunjuk dan barangsiapa yang masa jenuhnya itu kepada selainnya maka ia binasa.” (Shahih, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Ibnu Amr, lihat Shahihul Jami’ no: 2152).
Selama seseorang berada di atas Sunnah Nabi maka dia tetap berada di atas istiqamah. Sebaliknya, jika tidak demikian berarti ia telah melenceng dari jalan yang lurus sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Umar: “Manusia tetap berada di atas jalan yang lurus selama mereka mengikuti jejak Nabi.” ( Riwayat Al Baihaqi, lihat Miftahul Jannah no.197).
‘Urwah mengatakan: “Mengikuti Sunnah-Sunnah Nabi adalah tonggak penegak agama.” (Riwayat Al Baihaqi, Miftahul Jannah no: 198).
Seorang tabi’in bernama Ibnu Sirin mengatakan: “Dahulu mereka mengatakan: selama seseorang berada di atas jejak Nabi maka dia berada di atas jalan yang lurus.” (Riwayat Al Baihaqi, Miftahul Jannah no. 200).
----------------------
1 Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang banyak dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta atau kebetulan sama-sama berdusta sedang hadits ahad adalah yang selain itu. Ahlussunnah berpendapat bahwa hadits ahad yang shahih harus diterima dan diamalkan. (lihat An Nukat ‘Ala Nudzhatinnadhar, 53-57).
1 Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah yang banyak dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta atau kebetulan sama-sama berdusta sedang hadits ahad adalah yang selain itu. Ahlussunnah berpendapat bahwa hadits ahad yang shahih harus diterima dan diamalkan. (lihat An Nukat ‘Ala Nudzhatinnadhar, 53-57).
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=83
0 komentar:
Posting Komentar