Sabtu, 17 Maret 2012


Penulis: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
بسم الله الرحمن الرحيم
Allah عزّوجل dengan sifat rahmah-Nya yang sempurna, senantiasa memberikan berbagai peringatan dan pelajaran, agar para hamba-Nya yang berbuat kemaksiatan dan kezhaliman bersegera meninggalkannya dan kembali ke jalan Allah عزّوجل.
Sementara hamba-hamba Allah عزّوجل yang beriman akan bertambah sempurna keimanannya dengan peringatan dan pelajaran tersebut.
Namun, berbagai peringatan dan pelajaran, baik berupa ayat-ayat kauniyah maupun syar’iyah tadi tidak akan bermanfaat kecuali bagi orang-orang yang beriman. Allah عزّوجل berfiman (yang artinya): “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Adz-Dzariyat: 55).
Di antara sekian banyak peringatan dan pelajaran, yang paling berharga adalah tatkala seorang hamba dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan sakaratul maut yang menimpa saudaranya. Sehingga Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ
“Tidaklah berita itu seperti melihat langsung.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Umar رضي الله عنه. Lihat Ash-Shahihah no. 135).
Tatkala ajal seorang hamba telah sampai pada waktu yang telah Allah عزّوجل tentukan, dengan sebab yang Allah عزّوجل takdirkan, pasti dia akan merasakan dahsyat, ngeri, dan sakit yang luar biasa karena sakaratul maut, kecuali para hamba-Nya yang Allah عزّوجل istimewakan. Mereka tidak akan merasakan sakaratul maut kecuali sangat ringan. Sebagaimana firman Allah عزّوجل (yang artinya): “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.” (Qaf: 19).
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
لاَ إِلَهَ إِلاَ اللهُ، إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Sesungguhnya kematian ada masa sekaratnya.” (HR. Al-Bukhari).
Allah عزّوجل dengan rahmah-Nya telah memberitahukan sebagian gambaran sakaratul maut yang akan dirasakan setiap orang, sebagaimana diadakan firman-Nya (yang artinya): “Maka mengapa ketika nyawa sampai di tenggorokan, padahal kamu ketika itu melihat, sedangkan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah )? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Al-Waqi’ah: 83-87).
Al-Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Allah عزّوجل berfirman (artinya), ‘Maka ketika nyawa sampai di tenggorokan.’ Hal itu terjadi tatkala sudah dekat waktu dicabutnya.
‘Padahal kamu ketika itu melihat’, dan menyaksikan apa yang ia rasakan karena sakaratul maut itu. ‘Sedangkan Kami (para malaikat) lebih dekat terhadapnya (orang yang akan meninggal tersebut) daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat mereka (para malaikat).’ Maka Allah عزّوجل menyatakan: Bila kalian tidak menginginkannya, mengapa kalian tidak mengembalikan ruh itu tatkala sudah sampai di tenggorokan dan menempatkannya (kembali) di dalam jasadnya?” (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 4/99-100).
Allah عزّوجل berfirman (yang artinya): “Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke tenggorokan, dan dikatakan (kepadanya): ‘Siapakah yang dapat menyembuhkan?’, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmu lah pada hari itu kamu dihalau.” (Al-Qiyamah: 26-30).
Al-Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Ini adalah berita dari Allah عزّوجل tentang keadaan orang yang sekarat dan tentang apa yang dia rasakan berupa kengerian serta rasa sakit yang dahsyat (mudah-mudahan Allah عزّوجل meneguhkan kita dengan ucapan yang teguh, yaitu kalimat tauhid di dunia dan akhirat). Allah عزّوجل mengabarkan bahwasanya ruh akan dicabut dari jasadnya, hingga tatkala sampai di tenggorokan, ia meminta tabib yang bisa mengobatinya. Siapa yang bisa meruqyah? (Lihat Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim).
Kemudian, keadaan yang dahsyat dan ngeri tersebut disusul oleh keadaan yang lebih dahsyat dan lebih ngeri berikutnya (kecuali bagi orang yang dirahmati Allah عزّوجل). Kedua betisnya bertautan, lalu meninggal dunia. Kemudian dibungkus dengan kain kafan (setelah dimandikan). Mulailah manusia mempersiapkan penguburan jasadnya, sedangkan para malaikat mempersiapkan ruhnya untuk dibawa ke langit.
Setiap orang yang beriman akan merasakan kengerian dan sakitnya sakaratul maut sesuai dengan kadar keimanan mereka. Sehingga para Nabi‘alaihimussalam adalah golongan yang paling dahsyat dan pedih tatkala menghadapi sakaratul maut, sebagaimana sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ
“Sesungguhnya manusia yang berat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian yang semisalnya. Seseorang diuji sesuai kadar agamanya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2398 (2/64), dan Ibnu Majah no. 4023, dan yang selainnya. Lihat Ash-Shahihah no. 143).
Aisyah رضي الله عنها berkata:
فَلاَ أَكْرَهُ شِدَّةَ الْمَوْتِ ِلأَحَدٍ أَبَدًا بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku tidak takut (menyaksikan) dahsyatnya sakaratul maut pada seseorang setelah Nabi صلى الله عليه وسلم .” (HR. Al-Bukhari no. 4446).
Al-Imam Al-Qurthubi رحمه الله berkata: “Para ulama mengatakan bahwa bila sakaratul maut ini menimpa para nabi, para rasul ‘alaihimussalam, juga para wali dan orang-orang yang bertakwa, mengapa kita lupa? Mengapa kita tidak bersegera mempersiapkan diri untuk menghadapinya? Allah عزّوجل berfirman (yang artinya): “Katakanlah: ‘Berita itu adalah berita yang besar, yang kamu berpaling darinya’.” (Shad: 67-68). Apa yang terjadi pada para nabi ‘alaihimussalam berupa pedih dan rasa sakit menghadapi kematian, serta sakaratul maut, memiliki dua faedah:
1.     Agar manusia mengetahui kadar sakitnya maut, meskipun hal itu adalah perkara yang tidak nampak. Terkadang, seseorang melihat ada orang yang meninggal tanpa adanya gerakan dan jeritan. Bahkan ia melihat sangat mudah ruhnya keluar. Alhasil, ia pun menyangka bahwa sakaratul maut itu urusan yang mudah. Padahal ia tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dirasakan oleh orang yang mati. Maka, tatkala diceritakan tentang para nabi yang menghadapi sakit karena sakaratul maut -padahal mereka adalah orang-orang mulia di sisi Allah عزّوجل, dan Allah عزّوجل pula yang meringankan sakitnya sakaratul maut pada sebagian hamba-Nya- hal itu akan menunjukkan bahwa dahsyatnya sakaratul maut yang dirasakan dan dialami oleh mayit itu benar-benar terjadi -selain pada orang syahid yang terbunuh di medan jihad-, karena adanya berita dari para nabi ‘alaihimussalam tentang perkara tersebut. (At-Tadzkirah, hal. 25-26).
2.     Al-Imam Al-Qurthubi رحمه الله mengisyaratkan kepada hadits Abu Hurairah رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم
مَا يَجِدُ الشَّهِيدُ مِنْ مَشِّ الْقَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدُ أَحَدُكُمْ مِنْ مَشِّ الْقُرْصَةِ
“Orang yang mati syahid tidaklah mendapati sakitnya kematian kecuali seperti seseorang yang merasakan sakitnya cubitan atau sengatan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1668). Al-Imam Al-Qurthubi رحمه الله melanjutkan:
2. Kadang-kadang terlintas di dalam benak sebagian orang, para nabi adalah orang-orang yang dicintai Allah عزّوجل. Bagaimana bisa mereka merasakan sakit dan pedihnya perkara ini? Padahal Allah عزّوجل Maha Kuasa untuk meringankan hal ini dari mereka, sebagaimana firman Allah عزّوجل:
أَمَّا إِنَّا قَدْ هَوَّنَّا عَلَيْكَ
“Adapun Kami sungguh telah meringankannya atasmu.”
Maka jawabannya adalah:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ بَلاَءً فِي الدُّنْيَا اْلأَنْبِيَاءُ ثُمَّ اْلأَمْثَلُ فَاْلأَمْثَلُ
“Sesungguhnya orang yang paling dahsyat ujiannya di dunia adalah para nabi, kemudian yang seperti mereka, kemudian yang seperti mereka.” (Lihat Ash-Shahihah no. 143).
Maka Allah عزّوجل ingin menguji mereka untuk menyempurnakan keutamaan-keutamaan serta untuk meninggikan derajat mereka di sisi Allah عزّوجل. Hal itu bukanlah kekurangan bagi mereka dan bukan pula azab. (At-Tadzkirah, hal. 25-26).

Malaikat yang Bertugas Mencabut Ruh
Allah عزّوجل dengan kekuasaan yang sempurna menciptakan malakul maut (malaikat pencabut nyawa) yang diberi tugas untuk mencabut ruh-ruh, dan dia memiliki para pembantu sebagaimana firman-Nya عزّوجل (yang artinya): “Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu’ kemudian hanya kepada Rabbmulah kamu akan dikembalikan.” (As-Sajdah: 11).
Asy-Syaikh Abdullah bin ‘Utsman Adz-Dzamari حفظه الله berkata: “Malakul maut adalah satu malaikat yang Allah عزّوجل beri tugas untuk mencabut arwah para hamba-Nya. Namun tidak ada dalil yang shahih yang menunjukkan bahwa nama malaikat itu adalah Izrail. Nama ini tidak ada dalam Kitab Allah عزّوجل, juga tidak ada di dalam Hadits-hadits Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Allah عزّوجل hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):. Allah عزّوجل hanya menamainya malakul maut, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): “Katakanlah: ‘Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu’.” (As-Sajdah: 11).
Ibnu Abil Izzi Al-Hanafi رحمه الله berkata: “Ayat ini tidak bertentangan dengan firman Allah عزّوجل (yang artinya): “Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya. Kemudian mereka (hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al-An’am: 61-62).
Karena malakul maut yang bertugas mencabut ruh dan mengeluarkan dari jasadnya, sementara para malaikat rahmat atau para malaikat azab (yang membantunya) yang bertugas membawa ruh tersebut setelah keluar dari jasad. Semua ini terjadi dengan takdir dan perintah Allah عزّوجل, (maka penyandaran itu sesuai dengan makna dan wewenangnya).” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, hal. 602).

Wallahu a’lam bish showab.
Sumber: http://asysyariah.com/print.php?id_online=807

0 komentar:

Posting Komentar